Catatan Harian Andika
PLN Rasa Konflik

Tepat sholat isya kemarin, setengah perjalanan ngiman tanpa mic. Dua rakaat pertama lampu masih mati. Disisa dua rakaat lagi lampu hidup. "Beruntung" diluar hujan deras, jama'ah tak kepanasan sebab ac mati dan ruangan mesjid tertutup semua. Orang Aceh selalu merasa beruntung. Padahal lampu mati. Hanya karena diluar hujan dan jamaah tidak kepanasan, saya masih saja menulis "beruntung".
Bahkan saat tsunami, ada cerita yang selamat tidak meninggal justru saat mengisahkan dirinya bisa selamat dihempas air mengatakan "untong loen kutumee mumat bak kayee". Padahal keluarganya banyak yang meninggal dunia. Pun demikian ketika kecelakaan sampai hancur kaki, biasanya akan mengatakan "untong hana keuneng ulee" saat ia sembuh, padahal ia sudah kehilangan kaki. Orang Aceh selalu merasa paling beruntung. Mungkin inilah kelebihan bangsa Aceh ini, selalu dalam rasa syukur. Selalu dalam rasa beruntung. Seakan Allah selalu memberi jalan yang terbaik. Luar biasa...
Tapi untuk kisah mati lampu saat ini saya tidak merasa beruntung. Sebab saya membayangkan amat sangat terhina. Mati lampu ditengah PLTU termegah. Sumber pembangkit listrik berada di Kabupaten Nagan Raya, debunya setiap waktu kita hirup dan jalan rusaknya hampir setiap hari kita lewati. Saat sholat isya itu bukan kali pertama mati lampu. Mati lampu terus terjadi. Yang mengais penghasilan melalui benda elektronik jelas terugikan. Yang ingin berolahraga dalam ruangan harus membatalkan. Mati memang tak seharian, tapi sebentar-sebentar yang mengesalkan.
Dulu, mati dulu seperti jadwal tetap sehari-hari. Saat konflik, mati lampu seperti makanan. Tak ada kontak tembak, mati lampu tetap terjadi. Bayangkan dalam suasana mencekam jika ditambah lampu mati. Masyarakat benar-benar dilatih untuk survive berkehidupan dalam perang. Konon saat itu mati lampu di gilirkan. Kecuali di daerah pos militer. Masyarakat disekitarnya tak perlu dapat giliran. Terus terang mereka terang terus.
Keseringan mati sekarang ini membuat saya teringat masa konflik. Memang benar, walaupun sebagai warga Indonesia, tak mungkin kita mengadopsi motto hidup seperti judul buku R. A. Kartini "Habis Gelap Terbitlah Terang", sebab di Indonesia itu tak cocok. Yang cocok justru "Habis Terang Terbitlah Gelap-Gelap, Terang Gelap, Gelap Terang"
*Selepas magrib sambil Bersandar di Tiang Bait Arrahim.